Oleh: Muhammad Syauqi Hafiz
Muqaddimah
Hamas akhirnya meluncurkan sebuah dokumen politik setelah penantian yang lama dan juga melewati perdebatan-perdebatan internal yang alot. Sejak lama para pengamat dan peneliti mencoba memprediksi isi dari dokumen tersebut.
Hamas dianggap akan melunturkan prinsip-prinsip dasarnya selama ini, terutama sejak adanya wacana bahwa Hamas siap mengakui perbatasan tahun 1967. Belum lagi wacana Hamas akan memutuskan hubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Apalagi pada masa awal pendiriannya, Hamas sebenarnya sudah memiliki sebuah pedoman yang menggariskan perjuangan mereka yang bernama Piagam Hamas (Hamas Charter) yang disusun pada tahun 1988. Seakan-akan dokumen politik terbaru ini keluar untuk mengganti piagam yang sudah lama. Seakanakan dokumen politik ini menandakan lahirnya Hamas yang baru menggantikan Hamas yang lama. Pada tanggal 1 Mei, dokumen politik itu akhirnya resmi dirilis DI Doha, Qatar.
Rilis dokumen ini dipimpin oleh Kepala Biro Politik Hamas Khaled Meshaal, dengan mendatangkan para pimpinan utama Hamas di Gaza seperti Yahya Al Sinwar dan Ismail Haniyeh, ditambah para jurnalis, peneliti dan pengamat lainnya yang turut diundang. Website resmi Hamas memuatnya dalam bahasa Arab dan inggris.
Dokumen tersebut bernama: Watsiqah Almabadi wa Assiyasat Al ’Ammah (Dokumen Prinsip dan Kebijakan Umum). Dokumen yang berisi 42 pasal itu menyinggung banyak hal mengenai prinsip-prinsip Hamas, di antaranya:
1. Palestina adalah milik bangsa arab dan umat islam.
2. Yerusalem adalah ibukota palestina.
3. Tidak memerangi yahudi karena agamanya, melainkan karena penjajahan dan proyek zionisme.
4. Menolak hasil perundingan Oslo, deklarasi Balfour maupun resolusi PBB tentang pembagian Palestina oleh PBB.
5. Mendirikan negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 bukan berarti mengakui Israel.
6. Negara merdeka adalah hasil dari perjuangan kemerdekaan.
7. Tidak ikut campur dalam urusan negara lain.
Pasal 20
Pasal paling penting dan dinanti-nantikan oleh banyak pengamat, peneliti dan jurnalis adalah pasal 20 yang berbunyi:
“Hamas tidak akan menyerahkan tanah Palestina sedikit pun karena penyebab, situasi, kondisi, dan tekanan apapun, kendati penjajahan berlangsung terus menerus. Hamas menolak alternatif apapun selain upaya pembebasan Palestina secara total, dari ujung sungainya hingga ujung lautnya. Kendati demikian – tanpa mengakui negara zionis secara mutlak dan tanpa menyerahkan satupun hak bangsa Palestina – Hamas menganggap bahwa berdirinya negara Palestina merdeka yang berdaulat penuh, dengan ibukota Yerusalem, di atas perbatasan 4 Juni 1967, beserta kembalinya para pengungsi Palestina menuju rumah
mereka sebelum mereka diusir, semua itu adalah formula kesepakatan nasional.”
Di antara poin-poin yang menegaskan invaliditas eksistensi Israel adalah:
1. Pasal 2 yang menjelaskan bahwa batas negara Palestina adalah sungai Yordania di timur, laut Mediterania di barat, Ras Al Naqurah di utara, dan Um Rashrash di selatan. Ini sama saja menyatakan bahwa wilayah Palestina yang dicita-citakan adalah termasuk seluruh wilayah Israel hari ini, dan berarti visi Hamas mengenai Palestina merdeka adalah ikut
lenyapnya eksistensi Israel.
2. Pasal yang menegaskan ulang penolakan dan invaliditas Deklarasi Balfour dan Resolusi PBB tentang pembagian Palestina, sama saja artinya Hamas menolak ibu kandung yang telah melahirkan Israel, dan menganggap bahwa Israel adalah anak haram perjanjian-perjanjian ilegal itu.
3. Pasal yang menyatakan menolak proyek yahudisasi di Yerusalem, menunjukkan bahwa Hamas bersikukuh Yerusalem sebagai ibukota Palestina, dan itu artinya menolak aftermath perang enam hari tahun 1967 dimana untuk pertama kalinya tentara Israel menganeksasi
Yerusalem.
Bahkan pasal 20 itu sendiri terdiri dari dua bagian; bagian pembuka yang menegaskan komitmen Hamas untuk tidak menyerahkan tanah Palestina sedikitpun, apapun alasannya, baik dari ujung sungainya hingga ujung lautnya, lalu dilanjutkan bagian yang menyatakan bahwa Palestina merdeka di atas perbatasan 1967 merupakan formula kesepakatan nasional Palestina. Bagian pembukaan yang lantang dan tegas tersebut sudah cukup membantah keyakinan beberapa pihak bahwa jika Hamas mengakui perbatasan 1967 berarti mengakui Israel. Seorang akademisi dan pengamat Hamas berkebangsaan Palestina yang saat ini.
Hamas yang lama dan bukanlah Hamas yang sekarang?
Pada bagian pembuka sudah disinggung mengenai pedoman gerakan Hamas yang sudah lama ada, yaitu Piagam Hamas (Hamas Charter) yang dikeluarkan tahun 1988, serta pertanyaan kritis; apakah berarti Hamas yang sekarang bukanlah Hamas yang lama? Apakah Hamas sudah meninggalkan garis perjuangannya yang pertama?
Piagam 1988 memang berisi banyak poin-poin tegas namun kontroversial; konfrontasi dengan Yahudi adalah konfrontasi keagamaan, Hamas adalah sayap militer Ikhwanul Muslimin, Hamas adalah gerakan perlawanan keislaman (tanpa identitas Palestina); dari sekitar 12.000 kata terdapat kata “Allah” 73 kali, “Islami” 64 kali, “Jihad” 36 kali, namun kata “Palestina” hanya 27 kali. Piagam ini pun rentan dikesankan bahwa Palestina dan rakyatnya seakan menjadi sekedar alat untuk perang untuk menyebarkan islam.
Namun piagam 1988 tetap saja menjadi falsafah dan visi Hamas selama ini, kendati tidak dihasilkan dari lembaga ataupun proses otoritatif internal Hamas yang masih belum stabil dan berusaha mempertahankan diri dalam kondisi perang melawan Israel.
Kolumnis harian Israel Haaretz, Amira Hass menjelaskan kondisi tersebut dalam analisisnya: “Salah satu anggota Hamas memberitahu Haaretz bahwa segera setelah Piagam Hamas diluncurkan pada tahun 1988, banyak pihak dari dalam Hamas yang mengusulkan perubahan-perubahan dalam piagam tersebut… Para anggota Hamas yang diasingkan di Marj Al Zhour di Lebanon pada tahun 1992- 93 adalah yang pertama kali mendiskusikan secara serius tentang perlunya perubahan. Tetapi tidak ada perubahan yang berhasil dibuat karena untuk mengerjakannya membutuhkan proses berpikir dan konsultasi yang panjang dan rumit, di tengah masa-masa sulit eskalasi militer.”
Jika demikian halnya, bagaimana kedudukan Piagam 1988 dan Dokumen 2017 di mata Hamas saat ini. Dr. Osama menjelaskan dalam tulisannya bahwa Hamas terlihat mengambil jalan pertengahan dalam menghadapi usulan merevisi atau membatalkan Piagam 1988, yaitu dengan membuat dokumen politik ini.
Dokumen ini menjadi pegangan resmi yang menjelaskan identitas Hamas setelah matangnya pengalaman politik Hamas. Sehingga Piagam 1988 yang lama tidaklah dibuang, tetapi dianggap sebagai milestone yang menghantarkan Hamas menuju dokumen politiknya tahun 2017 ini.
Seakan menguatkan penjelasan Osama tersebut, Amira Hass juga menjelaskan bahwa piagam 1988 memang tidak pernah dibatalkan hingga hari ini. Piagam tersebut adalah dokumen bersejarah bagi Hamas, dan Hamas tidak menamakan dokumen barunya sebagai ‘Piagam 2017’. Menurut Amira, membatalkan Piagam 1988 sama saja mengikuti langkah Fatah yang secara memalukan merevisi Piagam Fatah tahun 1968 sebagai konsekuensi dari Perundingan Oslo. Kendati demikian, Piagam Hamas 1988 tidak lagi menjadi platform ideologi resmi Hamas.
Hubungan Hamas dengan Ikhwanul Muslimin

Apakah Hamas memang memutus seluruh hubungan dengan Ikhwanul Muslimin hanya karena gerakan tersebut tidak disebutkan di dokumen terbaru? Amira Hass berpendapat bahwa hubungan Hamas dengan Ikhwanul Muslimin hanyalah emosional dan ideologis, bukan hubungan kelembagaan yang menuntut setiap lembaga di bawah menaati titah atasannya, seperti Komintern Soviet.
Faktanya menurut Amira, partai-partai yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin di berbagai negara lain mengadopsi kebijakan-kebijakan sendiri yang berbeda-beda. Dan faktanya, proses penyusunan dokumen baru ini dimulai sejak 2013, sebelum kudeta Mursi di Mesir. Dengan kata lain, dokumen ini bukan akal bulus Hamas untuk menjilat Mesir setelah presiden asal Ikhwanul Muslimin digulingkan.
Ideologi dan politik Hamas menurut dokumen 2017
Pada tataran ideologi, Isu anti-semitisme secara lugas diperjelas dalam dokumen ini. Pasal 16 menyebutkan bahwa perlawanan Hamas ditujukan kepada zionisme, bukan semata-mata karena mereka yahudi tetapi karena status mereka sebagai penjajah tanah air dan bangsa Palestina.
Dari sisi ideologis juga, Hamas kembali menegaskan prinsip Islam moderat yang dianutnya, serta menegaskan bahwa Hamas memakai, menghormati, dan menjunjung proses demokrasi. Selain itu Hamas juga menghormati keragaman agama, aliran dan suku atas prinsip persatuan umat sebagai suatu nilai luhur.
Dari aspek politik, Hamas menyinggung mengenai perjuangan bersenjata. Hamas menyatakan bahwa perlawanan bersenjata adalah opsi strategis yang akan dipergunakan selama diperlukan demi mencapai tujuan, dan opsi bersenjata tersebut mustahil untuk dihapuskan. Prinsip Hamas ini berbeda dari narasi khas Palestina dengan bahasa revolusioner, bahwa perjuangan bersenjata adalah satu-satunya jalan (dan bukan salah satu opsi) demi mencapai kemerdekaan.
Hamas juga menyatakan ikut dalam payung PLO, namun dengan syarat PLO harus dibangun ulang atas dasar partisipasi politik. Poin ini membantah wacana bahwa Hamas berkeinginan menjadi representasi Palestina menandingi PLO.
Poin ideologis dan politis yang tidak kalah pentingnya juga dicantumkan dalam dokumen ini; Palestina merdeka haruslah sebuah hasil perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, ketimbang berdirinya sebuah negara merdeka, lebih penting terwujudnya perjuangan kemerdekaan itu sendiri.
Terakhir, Hamas mencantumkan bahwa prinsip hubungan luar negerinya adalah non-intervensionis dan inklusif. Khaled Meshaal sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa perjuangan bersenjata yang tepat adalah dengan berjuang di Palestina melawan penjajah, bukan di luar negeri.
Barangkali prinsip Hamas ini beserta seluruh pasal lainnya memang dibuat untuk menegaskan Hamas yang moderat dan berbeda dari gerakan-gerakan ekstrimis lainnya. Prinsip-prinsip semacam demokratis, moderat, inklusif dan nonintervensionis yang ditegaskan oleh Hamas dalam dokumennya sekarang seharusnya mendorong negara-negara arab dan islam untuk tidak ragu lagi mendukung Hamas secara politik, demi mendukung penyelesaian permasalahan Palestina di kancah internasional. Apalagi jika mengingat bahwa Hamas yang
bermarkas di Gaza sangat bergantung kepada Mesir, sebagai satu-satunya pintu gerbang menuju dunia luar. Disini dokumen politik Hamas menjadi semacam realisme politik, tanpa membuang sedikitpun prinsip-prinsip dan falsafah dasar gerakan Hamas yang didirikan Syeikh Ahmad Yasin.
Sumber: Islamic Geographic