Dukungan agar Palestina menjadi sebuah negara yang berdaulat terus mengalir. Di saat yang bersamaan, pemerintah AS menghancurkan rencana damai solusi dua negara dengan memberikan dukungan membabi buta kepada Israel.
YAAKOV Berg membuka satu botol wine Senin (18/11). Dia ingin merayakan pengumuman yang dibuat Amerika Serikat hari itu. Yaitu, permukiman di wilayah pendudukan Tepi Barat, Palestina, tidak melanggar hukum internasional.
Berg tinggal dan memiliki kilang anggur di Psagot. Area tersebut berbatasan dengan Kota Ramallah, wilayah pendudukan Tepi Barat, Palestina. ’’Ini adalah hari yang bersejarah,’’ ujarnya seperti dikutip Agence France-Presse.
Bagi Berg, dukungan AS itu ibarat angin segar. Sebab, belakangan keberpihakan terhadap Palestina kian menguat. Salah satu yang memukulnya secara langsung adalah keputusan Pengadilan Eropa (ECJ) Selasa (12/11). Yaitu, semua produk yang dihasilkan di wilayah pendudukan Palestina harus diberi label khusus jika dipasarkan di negara-negara Uni Eropa (UE). Tujuannya, pembeli bisa membuat pilihan berdasar pertimbangan etis serta yang berkaitan dengan ketaatan pada hukum internasional.
Aturan tersebut dikeluarkan UE sejak 2015 lalu. Namun, Berg dan Organisasi Yahudi Eropa berusaha membalik situasi. Mereka mengajukan gugatan ke ECJ. Gugatan itulah yang akhirnya ditolak. Secara tidak langsung, ECJ memaparkan bahwa produk yang dilabeli khusus tersebut dihasilkan penduduk sebuah negara yang tidak taat pada hukum internasional.
Terlepas dari pengakuan dan dukungan AS, pembangunan permukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina jelas melanggar hukum internasional. Permukiman itu ilegal. Resolusi PBB 2016 menyatakan hal serupa. Tapi, sejak Trump berkuasa, Israel tak peduli dengan segala aturan yang ada.

Israel merebut sebagian besar wilayah dari negara-negara tetangganya dalam perang selama enam hari pada 1967. Yaitu, Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Jerusalem dari Jordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Syria.
Israel menarik diri dari Sinai dan Gaza. Mereka memilih mencaplok Jerusalem Timur dan Golan. Negara yang dipimpin PM Benjamin Netanyahu itu tetap mengontrol Tepi Barat, tapi tidak mencaploknya. Dengan kata lain, dalam perundang-undangan Israel, Tepi Barat tidak termasuk bagian negara mereka.
Mayoritas permukiman ilegal Israel dibangun di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Ada 200 ribu warga Israel yang tinggal dengan 370 ribu penduduk Arab di Jerusalem Timur. Selanjutnya, 405 ribu lainnya tinggal di permukiman wilayah pendudukan Tepi Barat dengan sekitar 1,9 juta penduduk Palestina. Ada kurang lebih 130 permukiman ilegal di Tepi Barat. Dari yang paling kecil hingga yang dihuni permukiman.
Dukungan untuk Palestina mengalir deras pasca pengakuan AS. Baik itu dari negara-negara Eropa, Asia, maupun Timur Tengah. Raja Abdullah II dari Jordania menegaskan pentingnya menyelesaikan masalah yang membelit Palestina agar perdamaian bisa terwujud. Dia menambahkan bahwa peran AS penting dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
’’Masa depan Israel adalah menjadi bagian dari Timur Tengah. Tapi, itu tidak akan menjadi kenyataan 100 persen, kecuali kita menyelesaikan masalah Palestina,’’ ujarnya dalam acara yang diselenggarakan The Washington Institute for Near East Policy di New York, AS, Kamis (21/11).
Dukungan agar Palestina menjadi negara yang berdaulat juga datang dari Kanada. Rabu (20/11) negara yang dipimpin Perdana Menteri Justin Trudeau itu mendukung resolusi agar Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang diadopsi Majelis Umum PBB (UNGA). Resolusi itu diajukan Palestina, Korut, Zimbabwe, dan beberapa negara lainnya.
Total, ada 165 negara yang mendukung resolusi itu, termasuk Jerman dan Inggris. Biasanya, Kanada memilih tidak mendukung maupun abstain. Israel, AS, dan lima negara kepulauan di Pasifik menolak. Voting tersebut muncul pasca pengakuan AS bahwa permukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina tidak melanggar hukum internasional.
’’Penting bagi Kanada untuk menggarisbawahi komitmen tegas kami pada solusi dua negara,’’ ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Kanada Krystyna Dodd kepada Israel Times.
Sumber: Jawapos